catatan redaksi:
salah satu kunci efektifitas metodologi Pride adalah Campaign manager merupakan putra/putri daerah asli dan keputusan Campaign Manager untuk live in dengan masyarakat di kawasan. Live in bukan berarti hanya tinggal dan menetap, namun juga belajar dan bekerja bersama dengan masyarakat untuk mencapai suatu tujuan konservasi. Live in membuka kesempatan bagi campaign manager untuk menjadi homogen dengan masyarakat di kawasan, menyelami dan mengalami keseharian hidup masyarakat, juga membangun kepercayaan dari masyarakat, termasuk mengembangkan empati dan pemahaman campaign manager terhadap persepsi masyarakat mengenai lingkungan dan sumberdaya alam nya.
Ebe staff The Nature Conservancy yang sedang merancang kegiatan panggung boneka kampanye Hutan Lindung Sungai Lesan di Desa Merapun, hampir setiap hari selama 6 hari (9-14 April 2008) bersama-sama dengan warga Desa Merapun akhirnya terbiasa juga mandi dengan ‘air milo’. Sebagai pengunjung di Merapun risih rasanya waktu pertama kali harus mandi dengan air yang warnanya sangat coklat seperti habis diaduk-aduk dengan tanah ini – yang oleh Andriani salah seorang warga menyebutnya ‘air milo’. Tetapi apa mau di kata tidak ada pilihan lain. Kejadian mandi ‘air milo’ ini sudah beberapa bulan terjadi tatkala hujan sedikit saja di bagian hulu atau desa Merapun. Sebagaimana tuturan ‘gurauan’ tapi sarat makna dari Andriani yang juga sebagai guru sekolah minggu ini berkata ‘warga Merapun sekarang sudah kaya, mandi saja dengan air milo’.
Warga tentu saja walau tidak begitu suka dengan kondisi ini, tetapi situasinya mereka tidak dapat berbuat apa-apa selain pasrah. Setiap hari hujan untuk kebutuhan mandi, cuci dan minum dengan menggunakan air Sungai Lesan yang telah berubah menjadi ‘air milo’ ini. Lahan-lahan yang telah digusur di bagian hulu dan ditanami tidak saja menyebabkan hasil padi bagi warga yang kebetulan berdampingan menjadi jauh menurun tetapi tanah gusuran baru menjadikan air sungai menjadi keruh. Aktivitas pembukaan lahan dengan cara penggusuran habis bagi warga tentu saja hal yang tidak mungkin dihentikan. Mereka membayangkan kalau sekarang saja keruhnya air seperti air milo, bagaimana nanti kondisi sungai yang membelah desa mereka ini tatkala pembukaan lahan untuk perkebunan sawit telah dibuka semua?.
Warga tentu saja walau tidak begitu suka dengan kondisi ini, tetapi situasinya mereka tidak dapat berbuat apa-apa selain pasrah. Setiap hari hujan untuk kebutuhan mandi, cuci dan minum dengan menggunakan air Sungai Lesan yang telah berubah menjadi ‘air milo’ ini. Lahan-lahan yang telah digusur di bagian hulu dan ditanami tidak saja menyebabkan hasil padi bagi warga yang kebetulan berdampingan menjadi jauh menurun tetapi tanah gusuran baru menjadikan air sungai menjadi keruh. Aktivitas pembukaan lahan dengan cara penggusuran habis bagi warga tentu saja hal yang tidak mungkin dihentikan. Mereka membayangkan kalau sekarang saja keruhnya air seperti air milo, bagaimana nanti kondisi sungai yang membelah desa mereka ini tatkala pembukaan lahan untuk perkebunan sawit telah dibuka semua?.
No comments:
Post a Comment